
PRINGSEWU, kabardesa.co.id — Pemberhentian aktivitas penimbunan di atas lahan sawah di Pekon Tambahrejo, Kecamatan Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu, memunculkan problematika baru di tengah masyarakat lokal. Setelah surat resmi dari pemerintah daerah menghentikan pekerjaan yang dinilai tidak berizin tersebut, warga kini dihadapkan pada dampak lanjutan berupa konstruksi talud yang terbengkalai.
Talud yang tidak selesai pembangunannya ini menjadi sumber kekhawatiran kolektif warga. Secara hidrologis, struktur semacam ini jika dibiarkan dalam kondisi tidak utuh dapat mengganggu sistem aliran air permukaan. Hal ini berisiko memicu akumulasi air secara berlebih (runoff), yang pada gilirannya dapat menyebabkan banjir dan genangan di lahan pertanian produktif.
Seorang warga Suku V menyampaikan bahwa meskipun pihaknya mengapresiasi tindakan cepat pemerintah dalam menghentikan penimbunan ilegal tersebut, namun aspek keberlanjutan dan penanggulangan dampak harus tetap menjadi perhatian.
“Kami mendukung langkah pemerintah menghentikan kegiatan penimbunan yang tidak berizin. Tapi sekarang taludnya belum selesai. Ini sangat membahayakan. Ketika musim hujan datang, kami takut sawah-sawah kami akan tergenang,” ujar warga tersebut kepada kabardesa.co.id, Kamis (12/6/2025).
Ia menambahkan bahwa pihak yang disebut sebagai pemilik lahan, yakni Saudara Riyandhi, seharusnya tidak menganggap pemberhentian tersebut sebagai akhir dari tanggung jawab.
“Talud yang dibiarkan terbuka tanpa penguatan akan mengganggu ekosistem lokal, terutama jalur drainase alami. Kami minta Saudara Ry menyelesaikannya. Jangan hanya membangun lalu meninggalkan masalah untuk masyarakat,” lanjutnya.
Warga lainnya juga menyampaikan keresahan serupa. Menurut mereka, lokasi penimbunan merupakan bagian dari zona agrikultur yang memiliki fungsi ekologis penting. Aktivitas pembangunan tanpa kajian lingkungan dinilai sangat membahayakan daya dukung lahan.
“Kami bukan menolak pembangunan, tapi harus sesuai aturan. Ini kawasan yang memang tidak boleh sembarangan dialihfungsikan. Apalagi jika menimbulkan risiko ekologis seperti banjir,” kata salah seorang warga yang enggan disebut namanya.
Berdasarkan penelusuran kabardesa.co.id, hingga saat ini belum ada penjelasan resmi dari pihak yang disebut-sebut sebagai pemilik lahan, Riyandhi. Awak media telah berupaya melakukan konfirmasi melalui pesan WhatsApp ke nomor pribadinya, namun hingga berita ini diterbitkan, yang bersangkutan belum memberikan tanggapan.
Keengganan untuk memberikan klarifikasi kepada media menimbulkan spekulasi lanjutan di tengah masyarakat. Sebagian warga mempertanyakan komitmen pemilik lahan terhadap dampak sosial dan lingkungan dari aktivitas yang sudah sempat berjalan tersebut.
Secara normatif, setiap aktivitas pembangunan yang mengubah bentang alam, terlebih pada lahan pertanian produktif, seharusnya melalui kajian analisis dampak lingkungan (AMDAL) atau paling tidak Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL). Ketiadaan dokumen tersebut dapat memperkuat dugaan bahwa aktivitas yang dilakukan tidak memenuhi kaidah perundang-undangan yang berlaku.
Sementara itu, pihak pemerintah daerah melalui surat pemberitahuan sebelumnya telah secara eksplisit memerintahkan penghentian aktivitas di lokasi tersebut. Namun, belum diketahui apakah ada tindak lanjut atau penegakan hukum terkait sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang.
Masyarakat berharap pemerintah daerah, dinas lingkungan hidup, serta pihak berwenang lainnya dapat segera turun tangan untuk memastikan bahwa proyek mangkrak tersebut tidak menjadi sumber bencana baru.
“Kami hanya ingin hidup tenang. Jangan sampai karena satu pihak yang lalai, kami yang harus menanggung akibatnya,” pungkas warga. (Davit)